Dikisahkan suatu ketika Imam
Hanbal merasakan dirinya terpanggil untuk pergi ke suatu wilayah/kota. Ya,
dapat dimaklum, ulama-ulama zaman dahulu lebih sensitif terhadap hal-hal yang
bersifat batiniyah. Dimana diketahui sebelumnya bahwa Imam Hanbal ini adalah
seorang ulama besar yang cukup tersohor.
Kemudian berangkatlah Imam Hanbal
menuju kota tersebut. Suatu petang di dalam perjalanan menuju kota tersebut,
Imam Hanbal mampir ke sebuah langgar/mushola untuk melaksanakan shalat wajib.
Selesai menjalankan shalat wajib, Imam Hanbal menghabiskan waktu melakukan
amalan-amalan lain dalam langgar tersebut dan memutuskan untuk bermalam di
dalam langgar sebelum melanjutkan perjalanannya.
Ketika larut malam tiba, penunggu
langgar ternyata tidak memperkenankan Imam Hanbal untuk beliau tidur di dalam
langgar tersebut. Penunggu langgar tidak tahu menahu bahwa sebenarnya yang ia
“usir” adalah seorang imam besar. Kemudian keluarlah beliau dari langgar
tersebut dan menempatkan diri pada teras langgar. Namun penunggu langgar tetap
tidak mengizinkan beliau tidur di teras dan kembali “mengusir”. Imam Hanbal
beranjak dari teras dan berinisiatif tidur pada emperan langgar. Dan untuk
ketiga kalinya Imam Hanbal “diusir” oleh penjaga langgar tersebut. Akhirnya
Imam Hanbal tidur di pinggir jalan di depan langgar tersebut.
Tidak jauh dari langgar tersebut,
dikisahkan di seberang jalan tempat Imam Hanbal merebahkan diri ada seorang
penjual roti. Yang mana penjual roti tersebut melihat kejadian yang dialami
Imam Hanbal, juga tanpa tahu jika seseorang yang diusir dari langgar tersebut
adalah seorang ulama besar. Kemudian penjual roti tersebut memanggil Imam
Hanbal.
“Mas! Jika ingin menginap, biar
di tempat saya saja! Di tempat tinggal saya ada jika hanya tempat untuk tidur,”
tawaran sang penjual roti.
Imam Hanbal mengiyakan dan
menerima tawaran dari sang penjual roti tersebut. Ketika tiba dirumah sang
penjual roti, Imam Hanbal menyaksikan sang penjual roti membuat roti yang
disiapkan untuk dijual di hari berikutnya. Setiap melakukan segala hal, sang
penjual roti ini mengucapkan istighfar “Astaughfirullahal’adzim wa atubuilaik”.
Menuangkan tepung ia beristighfar, menuangkan air ia beristighfar, memberikan
telur ia beristighfar, mengulenipun ia awali dengan istighfar. Lalu Imam Hanbal
bertanya kepada sang penjual roti.
“Kang, mengapa setiap kali melakukan hal diawali dengan istighfar?”
“Kang, mengapa setiap kali melakukan hal diawali dengan istighfar?”
“Lantaran amalan tersebut rezeki
saya menjadi lancar dan saya selalu tercukupi. Terlebih lagi, lantaran amalan
itu pula keinginan-keinginan saya diijabah oleh Allah S.W.T,” jawab sang
penjual roti. “Namun, masih ada satu keinginan saya yang sampai saat ini belum
tercapai,” lanjutnya.
“Apa itu, Kang Penjual Roti?” tanya Imam Hanbal.
“Keinginan saya untuk bertemu dengan Imam Hanbal,” jawab sang penjual roti singkat.
“Apa itu, Kang Penjual Roti?” tanya Imam Hanbal.
“Keinginan saya untuk bertemu dengan Imam Hanbal,” jawab sang penjual roti singkat.
Kemudian Imam Hanbal menjelaskan
bahwa dirinya adalah Imam Hanbal ulama besar yang tersohor itu yang
kehadirannya dinanti oleh sang penjual roti. Imam Hanbal pun menyadari bahwa
panggilan yang ia rasakan untuk pergi ke suatu wilayah/kota itu adalah perintah
Allah, yang menjadi jalan untuk terwujudnya keinginan sang penjual roti.
Hal-hal yang bisa kita ambil dari
kisah tersebut tentang amalan istighfar. Semoga kisah yang saya posting ini
dapat bermanfaat. Posting ini saya ketik bukan untuk menggurui, namun untuk
berbagi dan untuk mengingatkan diri penulis pribadi. Syukur-syukur kita,
khususnya penulis sendiri, dapat tergugah untuk mengamalkan amalan tersebut.
Yang mau repost atau copy-paste
saya persilahkan, monggo. Syukur-syukur untuk dicantumkan link sumber postingan
dari blog saya ini. Terimakasih banyak telah meluangkan waktu untuk membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar